Thursday, January 19, 2012

Cerpen


 Ini cerita pendek karya saya, jelek..? Memang.. So, kalau mau komen, ya komen aja..




 “Diiii..!!”
 Ibuku sudah teriak memanggil namaku, Randy  adalah namaku, Ndi, biasanya aku dipanggil begitu oleh teman-temanku, peringkat terakhir di kelas adalah kebiasaanku “Yah, sekolah lagi, sekolah lagi.“ Pikirku dalam hati,
Meskipun masih merasakan pusing dikepalaku, karena semalaman penuh aku menghafal kunci jawaban untuk ujian. Jam dinding dikamar kulihat, “Setengah 7..?!!”
 Aku kaget, lalu menggelengkan kepala untuk membangunkan diriku yang masih sempoyongan, akupun langsung bergegas berlari mengambil handuk lalu pergi ke kamar mandi yang bersebelahan dengan kamarku..
“Sarapan di meja makan Di..!” Ibuku berteriak lagi,
Wanita berusia 35 tahun itu adalah orang yang disiplin, berbeda dengan anak satu-satunya. Sejak kepergian Ayah 3 tahun lalu, Ibuku yang melakukan semua pekerjaan rumah, Beliau juga yang bekerja mencari nafkah sebagai guru di Sekolah Dasar Taman Semesta, tidak jauh dari rumahku. Aku sangat bangga mempunyai orang tua yang hebat seperti beliau. Selesai mandi, aku hanya mengambil sepotong roti buatan Ibuku, mencium tangannya lalu bergegas memakai sepatu.
“Assalamu’alaikum,” ucapku sambil menutup pintu,
 Lalu aku berjalan menyusuri jalanan komplek. Aku bertemu dengan pedagang bubur ayam yang biasa melayaniku Minggu pagi, Pa Salihin namanya, dia suka mengorbrol dengan Ayahku dulu, Pa Salihin ini baik kepadaku, dia yang biasa melindungiku kalau-kalau ada yang ingin berbuat jahat kepadaku, dia kan sudah mempelajari silat sejak lama, dan namanya memang sudah terkenal di komplekku ini. Beliau  hanya tersenyum kepadaku, Lalu Pa Salihin bertanya, “Berangkat ke sekolah ya de..?”
Akupun menjawab, “Iya pak. ”  Dia melanjutkan pembicaraan dan akupun berhenti melangkah sejenak “Kok kelihatannya buru-buru sekali..?”
Akupun menyela,  “Iya pak, udah mau telat soalnya, sudah ya pak ya jangan ajak bicara saya dulu, kerja saja dulu sana biar kaya baru ngurusin orang lain.” Dia menjawab dengan sopan “Yaudah de, maaf, hati-hati ya..”
Baru saat itu aku merasa bersalah telah marah kepada Pa Salihin, padahal dia sering baik kepadaku, Aku harusnya melanjutkan perjalananku keluar komplek untuk mencari angkutan kearah sekolahku, tapi ada satu hal yang membuatku memperlambat gerak tubuhku, aku bertemu dengan Karina, perempuan manis, berkulit putih dan berambut panjang  yang selama ini aku puja, dia satu sekolah denganku, Akupun bertanya kepadanya dengan wajah sedikit bingung “Rin, kok kamu lewat sini..? Setahuku, kamu tidak tinggal disini kan..? Kamu pindah rumah ya..?”
 “Oh, gak kok, Di, aku cuma nginep di rumah nenekku tadi malam, rumahnya disekitar sini.” Karina menjawab. Aku mengobrol sedikit di jalan dengan Karina tentang masalah sekolah, Aku baru ingat kalau aku telat, aku lihat jam tanganku, jarum panjang menunjuk ke angka 12, jarum pendeknya tepat ke angka 7.
Akupun langsung memberitahu Karina, “Rin, kita udah telat..!”,“Ah, masa sih..?!” Karina bertanya dengan kaget, “Ayo cepet ,Rin..!” Akupun langsung menarik tangan Karina agar kita cepat sampai sekolah.
Diluar komplek, kami menunggu ada angkutan umum yang akan datang. Mirisnya, sudah menunjuk jam 07.10 tapi belum ada angkutan yang menghampiri kami, Akhirnya ada sebuah angkutan yang membawa kami ke sekolah, si supir mengerti kami sedang telat dan langsung mengemudikan mobilnya dengan cepat dan sampai sekolah tepat waktu. Di sekolah, ada satu teman terbaikku bernama Yudi, dia tinggi, tampan, gaul dan meskipun tidak terlalu pintar, tapi dia yang biasa membantuku mengerjakan tugas.
“Di, duaan aja, cepat masuk kelas, taruh tasnya, terus kesini lagi.” Ucap Yudi saat melihatku datang berdua bersama Karina.
 Sayangnya, Aku dan Karina berbeda kelas, jadi harus berpisah dahulu, baru saja aku masuk kelas, bel masuk langsung berbunyi. Kelasku sangat kotor karena aku harusnya membersihkan kelas,tetapi malah telat dan aku tidak sempat mengobrol dengan teman-temanku tadi pagi, karena keasyikkan mengobrol dengan Karina.
                “Keluarkan kertas dan pulpen tanpa ada alat lain di meja.” Suara Bu Evi terdengar saat ia masuk kelas tanpa mengucap salam sedikitpun.
 Aku menutup mata dan berdoa dalam hati, “Ya Allah, semoga hari ini bisa dapat hasil bagus.”  Tetapi, saat aku membuka kedua mataku, yang kulihat berbeda jauh dengan kunci jawaban yang aku hafal tadi malam, semua soal essay..! mungkin Bu Evi sudah mengubah soal terlebih dahulu, Aku ingin bertanya kepada temanku, tetapi hatiku menuntunku untuk mengerjakan soal ujian itu sendiri, tanpa ada yang membantu.
 “Wah, kayanya hanya aku yang akan dapat nilai jelek.” keluhku dalam hati. Sesudah ujian, seharusnya dilanjut dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, tapi karena Pa Bagus tidak bisa masuk kelas karena sibuk, kelasku pun ramai seperti hutan yang dihuni primata-primata yang berisik tak kenal aturan, tapi yang kulakukan hanyalah membaca buku yang dulu diberikan Ayah kepadaku, ‘Tanpa Kenal Lelah’ judul bukunya, bercerita tentang seorang pemuda yang berhasil mencapai cita-citanya tanpa mengenal lelah.
 “Aku harusnya bisa menjadi seperti yang dikisahkan buku ini.” Kesalku dalam hati, lalu datang Yudi bertanya kepadaku, “Di, lagi ngapain..?”
“Cuma baca buku doang ,Yud.” Jawabku,  Yudi lalu berbicara sesuatu yang benar-benar membuatku kaget, “Di, bilangin Karina dong, gue suka sama dia.”
 Aku tidak menyangka bahwa Yudi memiliki perasaan terhadap Karina, dia memang tidak berani berbicara langsung dengan orang yang dia suka, “Okedeh Yud, pasti gue bilangin.” Aku sengaja berbicara begitu kepada Yudi, padahal aku tidak ingin membicarakan soal Yudi didepan Karina. Yudi lalu pergi, dan tak lama bel istirahat pun berbunyi.
Keesokan harinya, aku tidak melihat Karina di jalanan komplekku, yang kutemui hanya orang-orang komplek dan pedagang makanan kecil yang berkeliling.  Disekolah pun aku tidak melihat Karina, saat aku bertanya kepada Yudi, “Yud, Karina kemana..?”
“Karina..? pindah sekolah, Di, baru tau gue juga.” dengan wajah kaget aku bertanya “Hah..? Kemana..?!” Lalu Yudi menjawab, “Temennya bilang sih, ke luar kota ,Di.”
 Begitu sedih hatiku mendengar kepindahan Karina, tapi tiba-tiba aku mengingat pesan dari ayahku, tepat sebelum kepergian beliau,
“Ndi, kamu sudah dewasa, sebentar lagi lulus dan masuk SMA, kamu harus bisa nanti mengurus ibumu, nanti disaat Ayah pergi, kamu harus bisa jauh lebih baik dari Ayah, maaf Ayah ninggalin kamu sama ibumu terlalu cepat dan maaf Ayah tidak bisa lihat kamu sukses nantinya, sekarang belajarlah yang tekun yah nak, jangan kecewain Ibu kamu, Ayah percaya kalau kamu bisa ngelakuin yang terbaik buat keluarga kita, satu lagi, baiklah dengan Pa Salihin.”
 Hari itu aku tidak bisa menangkap semua pelajaran dengan baik, aku berharap hal yang lebih buruk tidak akan terjadi hari itu, niatnya besok aku ingin mengobrol dengan Pa Salihin, untuk membicarakan semua tentang Ayahku, kebetulan besok hari Minggu. Di jalan pulang aku menaiki angkutan kearah komplekku, saat menyebrang jalan, aku masih memikirkan Karina, sampai tidak melihat kendaraan yang lalu lalang di jalanan, saat aku berjalan sambil termenung, aku mendengar suara klakson yang keras sekali, aku menengok ke samping, ternyata ada sebuah mobil truk yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Aku menutup mata, berharap mobil itu tidak menabrakku, aku merasa ada yang mendorongku, aku kira aku sudah meninggal tapi saat aku membuka mata, yang kulihat hanyalah Pa Salihin yang sedang terbaring lemas.
Darah mengucur keluar dari kepala Pa Salihin, aku merasa heran, dan akhirnya aku baru sadar kalau beliau telah menyelamatkanku. Air mataku menetes tanpa henti, aku tidak ingin kehilangan orang yang sudah baik kepadaku lagi, aku berteriak meminta bantuan, banyak orang datang, lalu membantuku membawa Pa Salihin ke Rumah Sakit. Tapi Beliau tidak bisa diselamatkan,
Pa Salihin sempat berbicara seperti ini kepadaku di Rumah Sakit, “Ayahmu adalah orang baik, dan kamu akan bisa menjadi orang yang lebih baik dari beliau, hanya saja harus ada sesuatu yang harus kamu tinggalkan.” Aku sangat menyesal karena aku belum sempat meminta maaf atas perkataanku waktu itu, “Sial, bodoh sekali aku ini, aku sudah bersikap kasar kepada Pa Salihin tapi dia masih mau menolongku, bahkan sampai merelakan nyawanya” Aku merasa marah kepada diriku sendiri, malamnya saat pulang ke rumah akupun langsung menceritakan kejadian itu pada Ibuku.
Seminggu setelah kepergian Pa Salihin, Dibagikan hasil ujian oleh Bu Evi. Teman-temanku mendapat nilai jauh lebih baik dariku, Yudi berhasil mendapat skor hampir terendah 63, sedangkan aku,  47, sebesar itulah hasil pengorbananku,
Akupun bertanya dalam hati, “Bagaimana bisa aku membuat senang orang tuaku dengan hasil seperti ini..?” Sesampai di rumah, Ibuku bertanya, “Apa ada sesuatu yang mau kamu katakan sama Ibu, Di..?”
 Akupun berfikir lagi dalam hati, akhirnya aku mau memperlihatkan hasil ujianku. Yang kukagumi dari Ibuku adalah, Beliau tidak marah, beliau hanya diam dan tersenyum kepadaku. Di kamar, Aku masih memikirkan semua masalahku,
 “Rasanya, aku sudah banyak melakukan kesalahan, aku telah berbohong kepada Yudi, Aku telah mengecewakan Ibu, dan kepergian Pa Salihin adalah salahku, mestinya aku tidak usah hidup lagi di dunia ini.” Itulah yang dirasakan hatiku, lalu mataku tertuju pada sebuah gunting di meja belajar. Saat aku berdiri ingin mengambil gunting itu, pintu kamar terbuka, Yudi lalu masuk kedalam kamar, aku langsung melupakan semua tentang penyesalanku. Yudi mengerti masalahku lalu memotivasiku, dia berkata, bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Pada saat itu, aku jujur kepada Yudi, “Yud, maaf gue ngebohongin lo, tentang Karina...” Aku belum selesai berbicara, tapi Yudi langsung menyela, “Gapapa kok, Di, lo hebat bisa jujur bicara seperti itu ke gua, sesama  sahabat, kita harus saling ngerti, Di.”
Lalu Yudi mengambil buku ‘Tanpa Kenal Lelah’ milikku, dan dia berkata, “Di, gue tau isi dari buku ini, gue baru baca dan gue sadar, Di, lo mau kaya tokoh utama yang ada di buku ini kan..?” Aku hanya mengangguk,
“Gue juga mau kaya orang di buku ini, Di, sayangnya gue gabisa.” Yudi berkata dengan wajah pasrah, aku tersenyum lalu berkata “Kan lo yang bilang, tidak ada yang tidak mungkin didunia ini.” Yudi lalu tersenyum, aku lalu berjanji pada Yudi, “Yasudah Yud, kita harus bisa jadi lebih baik, bahkan jadi yang terbaik..! Lihat gue nanti bakalan bisa kuliah di Eropa Yud, gue janji sama lo..!”, “Oke, Di, gue ikut sama lo..!” jawab Yudi dengan bersemangat.
Mulai keesokannya, aku dan Yudi pun semakin sering belajar bersama, kami bersaing sehat dalam prestasi, nilai ujian kami di masing-masing bidang menaik, pada ujian Bu Evi yang selanjutnya , aku dan Yudi mendapat skor tertinggi 100.. 3 bulan sebelum Ujian Akhir, seseorang yang hampir kami lupaka, kembali. Karina kembali ke kota kami, di sore harinya dia kaget saat melihat masuk ke kelasku, dia melihatku sedang belajar bersama Yudi,
Karina berkata, “Ini yang aku ingin dari kalian berdua, ayo kita belajar bersama, kita sama-sama mengejar mimpi ya..!”  Aku dan Yudi kaget mendengar suara wanita idaman kami, yang ingin ikut berusaha kuat dalam meraih prestasi.
Ditambah Karina, aku dan Yudi tambah semangat belajar dan berusaha, kami bertiga sering berkumpul, membicarakan masalah sekolah, pelajaran,  keluarga dan lain-lain. Sampai tepat 1 bulan sebelum Ujian Akhir,
 Saat kita berkumpul bersama, Yudi berani berkata jujur pada Karina, “Rin, sejujurnya, aku suka sama kamu.”
Karina menjawab sambil tersenyum manis, “Aku jawab sehabis UAS ya.” Aku merasa senang ketika Yudi mau berkata jujur pada Karina, meskipun sedikit teriris hati ini, tapi melihat sahabatku bahagia adalah hal terbaik.
2 Minggu kemudian, Aku mengunjungi pemakaman Ayahku, disana aku mendoakan Ayah, dan akupun mengingat kalimat terakhir yang dikatakan ayahku, “Baiklah dengan Pa Salihin.” Akupun berziarah ke makam Pa Salihin dan mendoakannya semoga ditempatkan diantara orang-orang yang beriman. Sesampainya dirumah, Aku bertanya pada Ibuku, “Bu, kenapa Pa Salihin mau menyelamatkanku..?” lalu Ibuku bercerita, “Kamu tahu, Di, dekatnya Pa Salihin dengan Ayah, sama persis seperti kamu dengan Yudi, mereka bersaing mendekati ibu, sama seperti kalian dengan Karina, Pa Salihin sangat menyayangimu, beliau ingin menjagamu dengan sepenuh jiwa raganya karena kamu adalah darah daging Ibu.” Lalu Aku bertanya pada Ibu, “Apakah kehidupanku nanti akan sama juga dengan  Pa Salihin..?”
Ibu menjawab dengan bijak, “Ingat, Di, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.. Kamu bisa jauh lebih baik dari Beliau, yang harus kamu lakukan hanyalah berusaha.” Ibuku lalu tersenyum kepadaku.
Jiwaku merasa terangkat dan rasa percaya diriku naik kembali. Lalu seminggu kemudian Ujian Akhir pun dilaksanakan, Aku mengerjakan soal dengan teliti dan penuh percaya diri. “Alhamdulillah.” Hanya kata itu yang bisa kuucapkan, setelah mendengar sepatah kalimat dari Pa Bagus sebagai wali kelasku, “Selamat kepada ananda Randy, kamu berhasil mendapat peringkat pertama di kelas,bahkan tertinggi se-kota.” Aku merasa bangga dan percaya bahwa hasil kerja kerasku yang ‘Tanpa Kenal Lelah’ yang telah membawaku mencapai kesuksesan ini, yang mampu merubahku dari ‘0’ menjadi ‘100’
Lalu aku melanjutkan sekolah ke SMA terbaik se-Indonesia, mendapat beasiswa lalu melangkah kuliah ke Eropa, dan menjadi orang sukses yang sebelumnya tak pernah kukira, Yudi dan Karina ikut bersamaku kuliah di Benua Biru, dan seringkali aku pulang untuk menjenguk Ibuku di Indonesia, satu hal yang paling membuatku bangga adalah bisa menyenangkan Ibuku dalam melaksanakan amanah Ayahku dan nilai terindah  47, yang kudapat dari Bu Evi masih terpajang rapih di lemariku.

No comments:

Post a Comment